Langsung ke konten utama

Unggulan

Biarkan Aku Mengenang

Tulisan ini aku tunjukkan sebagai apresiasi kepada teman-teman seperjuangan yang ku temui dan ku kenal semasa aku kuliah. Sebelumnya terima kasih, terima kasih karena sudah bersedia menjadi bagian dari kisah hidupku. Menjadi orang-orang penting dalam memori indah ku semasa kuliah. Kalian semua yang telah ku kenal adalah bagian terpenting yang Allah kiriman semata untuk membantu ku bertumbuh. Aku masih ndak menyangka akan jadi sarjana pertama di keluargaku. Sarjana pendidikan pertama. Rasanya seperti terbangun dari mimpi indah tapi dengan dokumentasi yang terus-terusan bisa dikenang. Aku bersyukur kepada Allah atas kesempatan paling berharga yang diberikan karena tanpa-Nya aku tidak akan mungkin bisa sampai menulis kisah di hari ini. Semua perjuangan ku semasa kuliah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan do'a dan usaha orang tuaku, juga dukungan baik finansial dari Kementerian Pendidikan atau pun semangat dan bantuan pikiran dari teman-teman yang ku temui semasa kuliah. Aku merasa ...

Bagaimana Jika, atau Mengapa Harus

 Hari ini rabu, salah satu rabu di minggu terakhir bulan februari. Sekali lagi Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, sekali lagi dengan tangan-Nya takdir terasa begitu menjanjikan bahagia. Bagaimana bisa segala yang tampak nyata seperti itu kuterjemahkan berbeda. Aku masih berusaha mengartikan banyak hal dalam kepalaku. Menjawab banyak tanya yang seolah membingungkan, juga menakutkan. Menunggu takdir bekerja, menanti putaran roda itu membawaku berada di atas, atau setidaknya sedikit bergeser ke atas. Tapi bagaimana mungkin dunia yang semakin beranjak dewasa kurasakan semakin menakutkan, juga mengecewakan justru menjadi tempat paling layak merayakan bahagia. Kabar demi kabar dari tanah kelahiran sana membuatku semakin ketakutan. Bagaimana jika ternyata perjuangan 4 tahun ini tidak membuahkan harapan baik bagi keluarga kami. Bagaimana jika omongan orang tentang waktu dan uang yang terbuang hanya untuk membiayai kehidupan atau lebih tepatnya fase pelarianku ini berujung sia-sia. Aku sudah mencoba sejauh ini, mencari uang sendiri. Mendaftar berbagai lomba yang kurasa aku bisa melakukannya, mengajukan tulisan-tulisan ini kepada beberapa redaksi juga koran-koran, mencoba peruntungan dengan mendaftar pada instansi yang sesuai dengan jurusan kuliahku, juga mencoba peruntungan di media sosial namun nyatanya selalu saja menjilat kegagalan. Ini aku yang terlalu bodoh dan tidak bisa apa-apa atau takdir yang punya cerita lebih baik dari semua rencanaku. Rasa-rasanya semakin mendekati epilog sebagai anak rantau, hatiku justru semakin dibanjiri cemas.


Hari ini rabu. Selayaknya rabu-rabu yang lalu di dalam kamar kostan yang lenggang, selalu lenggang karena hanya beberapa teman yang sempat mengunjunginya, itupun tidak lama, lantas kembali sepi. Sekali waktu aku merasa bahagia berada dalam kesunyian, sendirian, dalam ruangan yang terkunci dan hanya ada aku, juga ketakutan dan mimpi-mimpi yang terasa terlalu besar untuk digapai. Kamar ini jadi tempat persembunyian paling damai dari dunia. Juga tempat pelarian paling kusukai sejauh ini. Kamar nomor 9 yang kusewa 1 setengah tahun yang lalu dengan uang beasiswa itu. Kamar yang jadi saksi tangis juga tawa perjuanganku selama beberapa tahun ini. Kamar yang di dalamnya aku tidak perlu berpura-pura jadi orang lain. Aku suka di sini, menghabiskan waktu mengerjalan beberapa hal, juga menangisi beberapa hal. Tapi sebentar lagi waktu sewanya akan berakhir. Dan mungkin tidak akan ada lagi cerita-cerita yang kubangun di dalam kamar ini. Aku tidak bisa melanjutkan sewa kamarnya karena waktu yang kumiliki terlalu terbatas, juga uang yang kupunya tidak akan cukup lagi. Mungkin besok atau lusa, ketika akhirnya kunci kamar ini bukan lagi milikku, aku akan merindukannya, merindukan waktu-waktu paling damai di dalam kamar ini. Mungkin besok atau lusa akan ada seseorang yang mengisinya dengan harapan dan mimpi-mimpi yang lebih terarah daripada yang ku punya selama ini. Mungkin besok atau lusa giliran seseorang itu yang merasakan kehilangan ketika harus meninggalkan kamar ini, entah untuk beralih ke kamar-kamar lainnya, atau bahkan kembali ke tanah asalnya. 


Aku berharap sedikit waktu yang kupunya akan cukup meraup semua kenangan di kota ini. Kenangan yang tidak akan bisa terulang lagi karena rasa-rasanya jika bukan karena cita-cita dan takdir paling tidak masuk akal yang semesta berikan, orang tuaku tidak mungkin mengizinkanku melihat dunia seperti hari ini. Tapi aku bersyukur dan bahagia atas semua yang telah terjadi. Meskipun hari-harinya tidak selalu seperti yang aku ingin. 

Komentar

Postingan Populer