Langsung ke konten utama

Unggulan

Biarkan Aku Mengenang

Tulisan ini aku tunjukkan sebagai apresiasi kepada teman-teman seperjuangan yang ku temui dan ku kenal semasa aku kuliah. Sebelumnya terima kasih, terima kasih karena sudah bersedia menjadi bagian dari kisah hidupku. Menjadi orang-orang penting dalam memori indah ku semasa kuliah. Kalian semua yang telah ku kenal adalah bagian terpenting yang Allah kiriman semata untuk membantu ku bertumbuh. Aku masih ndak menyangka akan jadi sarjana pertama di keluargaku. Sarjana pendidikan pertama. Rasanya seperti terbangun dari mimpi indah tapi dengan dokumentasi yang terus-terusan bisa dikenang. Aku bersyukur kepada Allah atas kesempatan paling berharga yang diberikan karena tanpa-Nya aku tidak akan mungkin bisa sampai menulis kisah di hari ini. Semua perjuangan ku semasa kuliah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan do'a dan usaha orang tuaku, juga dukungan baik finansial dari Kementerian Pendidikan atau pun semangat dan bantuan pikiran dari teman-teman yang ku temui semasa kuliah. Aku merasa ...

Ini hanya tentang aku

Di tengah gerimis yang mulai menderas, aku menulis ini. Hari ini tepat 16 Agustus, hari di mana bendera kebangsaan negeri ini berjajar rapih di depan pelataran rumah. Hari di mana sorak-sorai suka ria terdengar dari mulut ribuan umat manusia. Hari di mana wajah-wajah penuh senyuman tergambar jelas dari sudut-sudut kota. Tetapi nyatanya tidak demikian dengan hatiku, tidak dengan wajahku, tidak dengan perasaanku. Sejujurnya, kegelisahan ini tak ada sangkut pautnya dengan meriahnya perayaan menyambut kemerdekaan, ini hanyalah tentang aku. Bukan. Bukan karena sebuah perasaan yang mencuat ketika hujan datang, tetapi lebih kepada visualisasi isi kepala yang selama berbulan-bulan mengendap bagai secangkir kopi yang tak mengenal sendok untuk mengaduk. Kegelisahan ini menjadi awal pertengkaran dalam hubungan kami. Pertengkaran yang pada akhirnya membuat situasi menjadi sulit terkendali. Mungkin memang benar, bahwa sebelum memutuskan untuk memulai sebuah hubungan, ada baiknya kita menyelesaikan urusan kita dengan diri sendiri. Ada baiknya kita benar-benar sepenuhnya mengenal dan mencintai diri kita sendiri. Sebagaimana dia pernah bilang, bahwa yang terpenting dari perasanku untuknya adalah bagaimana aku bisa mencintai diriku terlebih dahulu, baru aku dapat dengan tulus memberikan segenap perasaanku kepadanya. 



Kalau dipikir-pikir memang benar adanya, bagaimana aku bisa memberikan perasanku ini untuk dia, ketika aku masih punya ketidakpuasan pada diriku sendiri. Meskipun sebenarnya, perasaan tidak puas itu akan terus mengikuti sampai ajal menjemput. Tapi di dalam suatu hubungan, ego diri dan sifat kekanak-kanakan akan jadi momok yang mendorong ke arah perpisahan. Permasalahan ini sebenarnya mengizinkan aku untuk lebih mengenal dia lebih jauh. Aku jadi mengerti bagaimana cara dia menyelesaikan suatu masalah dalam berbagai situasi. Aku jadi mengenal dia lebih dalam, terutama tentang cara dia meluapkan emosi yang sejujurnya terjadi karena aku dan masalah di dalam diriku. Aku mencintainya. Aku masih mencintainya. Bohong bila kukatakan aku tidak mencintainya. Bohong bila kukatakan aku tidak cemburu. Bohong bila kukatakan aku tidak menangis terisak hanya karena pikiran-pikiran mengganggu tentangnya itu. Perasaan ini terpatri jauh dalam sanubariku dan entah sampai kapan akan berada di sana, yang kini kutahu aku mencintaimu. Bukankah lucu rasanya, ketika ku bilang perasaan ini tumbuh bersama emosi yang terus meluap-luap bagaikan gunung api?. Secara bersamaan, aku merasakan cinta, juga amarah. Sebenarnya bukan salahmu, sama sekali bukan salahmu. Ini hanyalah tentang aku, pikiranku, dan perasaanku. Tiga hal di dalam diriku yang entah mengapa bisa tidak searah. Mereka saling tolak menolak. Mereka saling selisih untuk memperebutkan sesuatu yang hingga kini sama sekali tidak aku pahami. Hatiku menginginkanmu, sungguh. 



Namun pikiranku justru berkenala ke arah hal-hal buruk yang sebenarnya sudah berkali mulut kau jelaskan dengan sangat jelas, bahkan sekali waktu diiringi dengan linang air mata. Aku juga berulang kali menjelaskan kegelisahan dan ketakutan ini padamu, bahkan mungkin sudah bosan rasanya kau mendengarkan isi kepalaku ini. Sekali waktu, aku bahkan sudah berserah untuk hubungan ini, hatiku berserah atas perasaanmu yang bisa saja diputar balikkan ke arah lain. Aku berserah atas semua yang mungkin akan berubah dan pada akhirnya meninggalkan aku dan keegoisanku. Tapi kamu selalu bilang meyakinkanku bahwa tidak akan ada kisah lain yang cukup membuatmu bahagia, sebagaimana kisah ini. Nyatanya hingga kini, kisah penuh drama inilah yang kamu pilih tanpa ragu, tanpa sekalipun berpikir untuk mengganti tokohnya, dan tanpa sekalipun mencoba untuk menambah tokohnya.



Terima kasih karena telah meyakinkan aku, dan terus meyakinkan aku. Kini tugasku untuk berdamai dengan diri sendiri, mencoba meyakini pertaanmu, dan menata kembali kekompakan antara aku, hati, dan pikiranku demi hubungan yang lakonnya sudah kau pesan hingga maut memisahkan kita. Dari aku, Rosantien.

Komentar

Postingan Populer