Langsung ke konten utama

Unggulan

Biarkan Aku Mengenang

Tulisan ini aku tunjukkan sebagai apresiasi kepada teman-teman seperjuangan yang ku temui dan ku kenal semasa aku kuliah. Sebelumnya terima kasih, terima kasih karena sudah bersedia menjadi bagian dari kisah hidupku. Menjadi orang-orang penting dalam memori indah ku semasa kuliah. Kalian semua yang telah ku kenal adalah bagian terpenting yang Allah kiriman semata untuk membantu ku bertumbuh. Aku masih ndak menyangka akan jadi sarjana pertama di keluargaku. Sarjana pendidikan pertama. Rasanya seperti terbangun dari mimpi indah tapi dengan dokumentasi yang terus-terusan bisa dikenang. Aku bersyukur kepada Allah atas kesempatan paling berharga yang diberikan karena tanpa-Nya aku tidak akan mungkin bisa sampai menulis kisah di hari ini. Semua perjuangan ku semasa kuliah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan do'a dan usaha orang tuaku, juga dukungan baik finansial dari Kementerian Pendidikan atau pun semangat dan bantuan pikiran dari teman-teman yang ku temui semasa kuliah. Aku merasa ...

Yang paling layak

 

Pesan wattsapp yang kutunggu-tunggu sejak 17 jam yang lalu akhirnya mendapat jawaban. Meskipun yang muncul tidak sesuai dengan yang ku harapkan, tapi rasanya bahagia sekali ketika tau itu darinya. Obrolan kami selalu berakhir dengan dia yang hanya membaca pesanku. Padahal aku selalu mencari cara supaya bisa dekat dengannya, supaya dia selalu berantusias menanggapi pesanku, supaya dia menghargai keberadaanku sedikit saja.

Rasanya menyesakkan sekali bertahan dalam ketidakpastian.

Rasanya merepotkan sekali berharap kepada seseorang yang tidak ingin dijadikan harap.

Tapi mau bagaimana lagi, aku mencintainya dan hanya dia satu-satunya yang aku inginkan. Bukan orang lain. Maka, bertahan adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkannya.

 Ya…. Aku jatuh cinta dengan segenap-genapnya hati kepada  seseorang yang tidak pernah menganggapku ada meski hanya satu detik.

Sudah sejak lima tahun yang lalu perasaan ini kujadikan rumah mengkipun yang tinggal di dalamnya hanya aku dan harapan-harapan yang tidak pernah semesta jadikan pasti. Aku mencintainya sejak dia memperkenalkan diri di depan kelas. Aku jatuh cinta pada manusia batu yang tidak mudah berlubang meski sudah kusiram perhatian setiap hari selama bertahun-tahun.

Aku jatuh cinta kepada seseorang yang hanya diam dan membiarkanku bertahan dalam harap yang membuatku hampir mati kesakitan meskipun sebenarnya dia tahu aku mencintainya.

Sejak dulu, ketika kita masih satu sekolah, ketika dengan begitu mudah kutatap wajahnya meski hanya dari kejauhan, ketika jarak hanya sebatas meja dan kursi kelas,  dia tidak pernah mencintaiku bahkan hingga detik ini, ketika jarak kita sudah bukan lagi tentang perasaan tapi juga keberadaan.

Sekalipun aku tidak pernah ragu mengirimkan berpuluh-puluh hadiah di hari ulang tahunnya. Sekalipun aku tidak pernah ragu menjadikan namanya sebagai topok utama permintaanku kepada Tuhan. Sekalipun aku tidak pernah ragu akan perasaanku padanya karena memang hanya dia yang aku mau. Cuma dia. Dan selamanya dia.

Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini?. Bukankah masih ada kesempatan untuk megejarnya sampai janur kuning benar-benar melengkung atas namanya?. Bukankah perasaan cinta yang ku muliki dengan kesetiaan yang tidak perlu diragukan lagi ini sangat mampu menjadi alasannya untuk memilihku sebagai rumah?.

Semesta… ku mohon jadikan aku dan dia sepasang kekasih yang berakhir bahagia selamanya.

Semesta…. Jangan biarkan perasaan yang sudah kurawat selama bertahun-tahun hancur hanya karena dia tidak  juga mencintaiku.

“Heh… cah… ngopo kue ngelamon?. Ndang dikerjakne, diluk eneh pembukaan…. kok malah”

Aku kembali tersadar dan bergegas menatap layar laptop yang masih menyala, dengan alat print di sebelahnya. Ketika sedang asik meneliti  satu demi satu kata yang ada di layar laptopku, tiba-tiba suara serak milik laki-laki yang tadi menarikku dari lamunan kembali terdengar. Kali ini dia mengajukan pertanyaan yang membuatku semakin lelah.

“Udah ganteng belum Put?. Rapih gak sih kalau gak dikancingin? Almetnya si Danu kekecilan soalnya, punyaku ketinggalan di kelas, mager ngambilnya.

Kutatap laki-laki berkacamata yang berdiri menatapku dengan almamater hitam dan sebuah Al-qur’an kecil di tangan kanannya. Rambutnya disisir rapih kearah kanan. Tidak ketinggalan jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Dia memakai celana bahan berwarna hitam dengan kemeja batik berwarna coklat yang akhir-akhir ini sering sekali ku lihat. Dari tampilannya yang terkesan formal, dapat kutebak bahwa dia hanya gosok gigi dan mencuci muka setelah sholah subuh tadi. Dan sekarang sudah pukul 06.30 WIB.

“Kamu  mau hadir di acara formal tapi gak mandi?” ucapanku berhasil membangunkan singa yang tertidur. Buktinya dia langsung melolot dengan air wajah yang kelihatan tidak senang.

“Tau dari mana?.”

Dia berujar dengan ketus sembari memasukkan Al-Qur’an ke saku almamater sebelah kiri dan merogoh sesuatu di saku celana.

“Dari jarak dua puluh meter aja aku bisa tahu kalau kamu cuma cuci muka pakai air wudhu terus makan gorengan di dapur sambil gangguin konsumsi nyiapin snack buat pembukaan.”

Aku berujar sambil menatap kearahnya yang sedang menyisir rambut meski sebenarnya sudah sangat rapih lantaran dibasuh dengan air.

“Udah jawab aja…. Jadi aku udah ganteng atau belum?”

Wajah menjengkelkan miliknya membuat darahku tiba-tiba mendidih. Memaksaku untuk lekas membereskan pekerjaan lantas pergi meninggalkan ruangan yang dipenuhi dengan aroma tubuhnya setelah dia mengibarkan almamater yang semula dikenakannya kearahku.

Sejujurnya aku benci situasi ini. Sejujurnya aku tidak ingin menjawab pertannyaan yang terkesan menyudutkanku. Karena sejujurnya tidak pernah sekalipun ada murid SMA yang bilang dia jelek, bahkan untuk ukuran ketua OSIS menjengkelkan, dia punya banyak sekali penggemar dari SMA lain.

“Tidak bisa jawab ya? Haha… sudah jelas matamu itu bilang kalau kamu terpesona sama aku.”

Kan. Sudah ku bilang kalau dia menjengkelkan. Aku tidak suka lihat dia besar kepala, tidak suka lihat dia berkuasa atas segala kosa kata dan membiarkanku kalah dalam perdebatan ini. Aku tidak suka diejek oleh ketua OSIS paling jelek se-Kabupaten. 

“Enak aja. Siapa juga yang terpesona sama kamu. Aku justru enek liat mukamu yang sok keren itu.” Ujarku tidak mau kalah

“Haha… sok keren? Ganteng mungkin maksudmu?” ujarnya sembari memasukkan sisir kecil ke dalam saku celana.

“Aku beneran tanya, ini kalau gak dikancingin bagus gak?”

 Sepertinya kali ini pertannyaannya sungguhan. Maka kulihat tubuhnya dari atas sampai bawah, menimbang-nimbang jawaban apa yang pantas kuberikan atas pertannyaannya.

“gak rapih kalau gak kamu kancingin. Ketua OSIS itu jadi contoh, eh… ini malah kamu mau badung depan tamu undangan.”

“ya udah pinjem punyamu” dia berkata sembari menyambar almamater milikku yang sudah ku cuci dan kugosok sehari sebelum menginap di sekolah.

“Wih… wangi baget almamatermu, tumben rajin…. Biasanya ada acara nginep gak pernah mandi.” Dia mengatakan itu sembari memperlihatkan cengiran jahil miliknya yang terlihat begitu menyebalkan di mataku.

“Enak aja..  emang kamu, seragam olahraga digantung sembarangan di secret, bikin seisi ruangan bau badanmu tahu gak!.”

Ucapanku justru membuatnya tertawa. Dan hal itu sukses membuatku semakin dibuat jengkel oleh sikapnya yang selalu berubah mengikuti situasi. Ketika menjadi teman di depan siapa saja dia berubah jadi sosok paling menjengkelkan, tapi ketika jadi ketua OSIS dan ada pada situasi formal sikapnya mendadak berwibawa dan peduli kepada semua orang.

“udahlah… jujur aja, bau badanku bikin nyaman kan tapi?. Sampe kamu betah banget ngelamunin ketua umum sendiri di secret” ucapnya sembari memasang wajah jahil

“dih… siapa juga yang ngelamunin kamu.”

Suara alat print yang sedang bekerja menambah ruangan ini semakin bising. Angkasa kembali menatap cermin yang tergantung di dinding secret tepat di sebelah kananku sambil membetulkan letak kaca matanya yang baru saja dia bersihkan.

“PUTRI  ANGKASA NARENDRA. Cocok ya?” suara seraknya semakin menghancurkan moodku yang sudah kacau. Apa-apaan dia itu. Bisa-bisanya menyatukan namaku dengan namanya. 

“punya parfum gak? Minta Put!.” Ujarnya tanpa dosa. Sudah pinjam almamater punyaku dengan badan yang aku yakin belum mandi dari kemarin sore, eh.. masih mau minta parfum milikku juga.

“Udah… gak usah pake parfum. Biar seisi ruangan tahu bapak ketua umum belum mandi dari kemaren sore.” Ujarku sembari memunguti susunan acara yang akan aku baca ketika pembukaan nanti.

“Bener?.... Nanti kalau mereka betah juga sama bau badanku kamu gak akan cemburu?”

“Heh… udah sana ke atas.. atau mau aku pukul pake pantofel punya Putra?” aku mengatakan itu sambil melangkah hendak memungut pantofel yang tergeletak di rak sepatu di sebelah Angkasa berdiri.

“hahaha… emang tega mukul suami sendiri?”

“Heh… pergi gak”

“iyo… galak banget. Udah ayuk… 30 menit lagi acaranya dimulai” Dia memasang wajah bijaksana kebanggaannya yang selalu muncul disaat sosok ketua osis mendominasi

“kalau almamater punyaku dipakai kamu, terus aku pakai apa?”

Bukannya menjawab pertannyaanku, dia justru sibuk mengelus ponsel hitam kesayangannya tanpa merasa bersalah padaku. Perasaan jengkel seketika menguasai diriku yang pada akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan ketua osis menyebalkan itu sendirian.

Aku melangkah seorang diri menyusuri koridor di depan ruangan kelas ditemani sebuah map serta name tag yang menggantung di leher. Bila kalian berpikiran kisah ini akan berakhir dengan aku yang dibuat jatuh cinta oleh semesta kepada Angkasa, jawaban kalian benar. Karena pada kenyataannya, yang dekat lebih menjanjikan ikat dan yang selalu ada lebih menjanjikan nyaman. 

Laki-laki menyebalkan itu, membuat aku terbiasa membutuhkannya. Membuat aku perlahan-lahan lupa kepada pesan-pesan Wattsapp yang tidak pernah berdatangan lagi dua bulan kemudian. Dan aku tidak bisa selamanya menggantungkan harap kepada laki-laki yang tak pernah menginginkan keberadaanku.  

Namun, Angkasa bukanlah yang terbaik yang semesta pilihkan untukku. Angkasa hanya menjadi tokoh utama dalam lembar lama meski sejujurnya aku dan dia tidak pernah ada ikatan apa-apa. Aku dan dia, hanya sebatas teman. 

Setelah kami berpisah, aku disibukkan dengan pengharapan kepada cita-cita. Bagiku itu yang paling penting untuk saat itu. Bukankah semesta sudah mengatur jalannya? lantas untuk apa memusingkan jodoh. 

Tapi memang dasar semesta ya, kalau hidup gak ada bumbu cintanya gak seru. Lakonnya pasif. Yang dikejar sebatas tahta dan harta. Ya... kata semesta hampa aja gitu kalau sebuah perjuangan gak diisi pake warna-warni cinta

Akhirnya, semesta mengirimkan seseorang yang tidak pernah ku bayangkan, ataupun ku harapkan kehadirannya pada saat itu. Tapi kalau sekarang, aku tidak rela bila semesta membawanya pergi atau mengakhiri tugasnya untuk menemaniku dan menjagaku. 

Dia menyayangiku dengan segenap-genap perasaannya. Dan aku belum pernah disayangi begitu dalamnya sebelum ketemu dia. Maka aku bersyukur atas kehadirannya dalam kehidupanku. Tapi masalah berikutnya adalah, apa benar jalan cinta yang kami ambil akan membawa bahagia? karena yang sudah-sudah ya.... rumit. Karena yang sudah-sudah, yakni mereka yang menghambakan cintanya kepada status yang jelas akan berakhir dengan air mata. Entah berkhianat atau dikhianati, entah ditinggal pas sayang-sayangnya, entah dikecewain, disakitin, diduluin. Intinya aku gak mau semua itu terjadi juga padaku. 

Kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang yang akhir darinya jelas kematian. Aku tidak ingin mengakhiri hidupku dengan kesedihan. Aku ingin kisahku dapat dikenang sebagai sesuatu yang tidak memalukan dan  membawa manfaat untuk orang lain. 

Cinta itu misteri, tapi bisa merasakan dicintai dengan begitu tulus adalah anugerah. 

Dia pernah bilang padaku bahwa, jangan hanya berusaha untuk menikahi orang yang kau cintai tetapi berusahalah juga untuk mencintai orang yang kau nikahi. 

Bukankah semua menjadi begitu jelas, bahwa yang saling cinta belum tentu berakhir bersama karena yang paling layak mendapatkan cinta tulusmu hanyalah ia yang benar-benar berjanji setia dan benar-benar bertanggungjawab atas ucapannya. Maka, sudah seharusnya melepaskan seseorang yang tidak pernah menghargai perasaanmu. 

Yang layak dijadikan teman berjuang sampai ujung hanyalah ia yang memang benar-benar tulus menjadikanmu rumah ternyaman tempatnya pulang.


Salam Manis, 

Rosantien.


Komentar

  1. Tamparan keras untuk yg sekedar datang, singgah, dan tanpa menetap

    BalasHapus
  2. MasyaaAllah keren, mba terbawa hehe.
    Berasa ngeliat gimana berwibawa dsn nyebelinnya si angkasa😅

    BalasHapus
  3. Ketceee tulisannya. , Kaya berasa masuk ke cerita nya eh✌️✌️

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer