Cari Blog Ini
Hello. Terima kasih sudah berkenan membaca ceritaku. Semoga aku dan kamu sehat selalu
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Yang paling layak
Pesan wattsapp yang kutunggu-tunggu sejak 17 jam yang lalu
akhirnya mendapat jawaban. Meskipun yang muncul tidak sesuai dengan yang ku
harapkan, tapi rasanya bahagia sekali ketika tau itu darinya. Obrolan kami
selalu berakhir dengan dia yang hanya membaca pesanku. Padahal aku selalu
mencari cara supaya bisa dekat dengannya, supaya dia selalu berantusias
menanggapi pesanku, supaya dia menghargai keberadaanku sedikit saja.
Rasanya menyesakkan sekali bertahan dalam ketidakpastian.
Rasanya merepotkan sekali berharap kepada seseorang yang tidak
ingin dijadikan harap.
Tapi mau bagaimana lagi, aku mencintainya dan hanya dia satu-satunya
yang aku inginkan. Bukan orang lain. Maka, bertahan adalah satu-satunya jalan
untuk mendapatkannya.
Ya…. Aku jatuh cinta dengan
segenap-genapnya hati kepada seseorang
yang tidak pernah menganggapku ada meski hanya satu detik.
Sudah sejak lima tahun yang lalu perasaan ini kujadikan rumah
mengkipun yang tinggal di dalamnya hanya aku dan harapan-harapan yang tidak
pernah semesta jadikan pasti. Aku mencintainya sejak dia memperkenalkan diri di
depan kelas. Aku jatuh cinta pada manusia batu yang tidak mudah berlubang meski
sudah kusiram perhatian setiap hari selama bertahun-tahun.
Aku jatuh cinta kepada seseorang yang hanya diam dan membiarkanku
bertahan dalam harap yang membuatku hampir mati kesakitan meskipun sebenarnya dia
tahu aku mencintainya.
Sejak dulu, ketika kita masih satu sekolah, ketika dengan begitu
mudah kutatap wajahnya meski hanya dari kejauhan, ketika jarak hanya sebatas
meja dan kursi kelas, dia tidak pernah
mencintaiku bahkan hingga detik ini, ketika jarak kita sudah bukan lagi tentang
perasaan tapi juga keberadaan.
Sekalipun aku tidak pernah ragu mengirimkan berpuluh-puluh hadiah
di hari ulang tahunnya. Sekalipun aku tidak pernah ragu menjadikan namanya
sebagai topok utama permintaanku kepada Tuhan. Sekalipun aku tidak pernah ragu akan
perasaanku padanya karena memang hanya dia yang aku mau. Cuma dia. Dan
selamanya dia.
Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini?. Bukankah
masih ada kesempatan untuk megejarnya sampai janur kuning benar-benar
melengkung atas namanya?. Bukankah perasaan cinta yang ku muliki dengan
kesetiaan yang tidak perlu diragukan lagi ini sangat mampu menjadi alasannya untuk memilihku sebagai rumah?.
Semesta… ku mohon jadikan aku dan dia sepasang kekasih yang
berakhir bahagia selamanya.
Semesta…. Jangan biarkan perasaan yang sudah kurawat selama
bertahun-tahun hancur hanya karena dia tidak
juga mencintaiku.
“Heh… cah… ngopo kue ngelamon?. Ndang dikerjakne, diluk eneh
pembukaan…. kok malah”
Aku kembali tersadar dan bergegas menatap layar laptop yang masih
menyala, dengan alat print di sebelahnya. Ketika sedang asik meneliti satu demi satu kata yang ada di layar
laptopku, tiba-tiba suara serak milik laki-laki yang tadi menarikku dari
lamunan kembali terdengar. Kali ini dia mengajukan pertanyaan yang membuatku semakin lelah.
“Udah ganteng belum Put?. Rapih gak sih kalau gak dikancingin?
Almetnya si Danu kekecilan soalnya, punyaku ketinggalan di kelas, mager
ngambilnya.
Kutatap laki-laki berkacamata yang berdiri menatapku dengan
almamater hitam dan sebuah Al-qur’an kecil di tangan kanannya. Rambutnya
disisir rapih kearah kanan. Tidak ketinggalan jam tangan yang melingkari
pergelangan tangan kanannya. Dia memakai celana bahan berwarna hitam dengan
kemeja batik berwarna coklat yang akhir-akhir ini sering sekali ku lihat. Dari
tampilannya yang terkesan formal, dapat kutebak bahwa dia hanya gosok gigi dan
mencuci muka setelah sholah subuh tadi. Dan sekarang sudah pukul 06.30 WIB.
“Kamu mau hadir di acara
formal tapi gak mandi?” ucapanku berhasil membangunkan singa yang tertidur. Buktinya dia langsung melolot dengan air wajah yang kelihatan
tidak senang.
“Tau dari mana?.”
Dia berujar dengan ketus sembari memasukkan Al-Qur’an ke saku
almamater sebelah kiri dan merogoh sesuatu di saku celana.
“Dari jarak dua puluh meter aja aku bisa tahu kalau kamu cuma cuci
muka pakai air wudhu terus makan gorengan di dapur sambil gangguin konsumsi nyiapin snack buat pembukaan.”
Aku berujar sambil menatap kearahnya yang sedang menyisir rambut meski sebenarnya sudah sangat rapih lantaran dibasuh dengan air.
“Udah jawab aja…. Jadi aku udah ganteng atau belum?”
Wajah menjengkelkan miliknya membuat darahku tiba-tiba mendidih.
Memaksaku untuk lekas membereskan pekerjaan lantas pergi meninggalkan ruangan
yang dipenuhi dengan aroma tubuhnya setelah dia mengibarkan almamater yang
semula dikenakannya kearahku.
Sejujurnya aku benci situasi ini. Sejujurnya aku tidak ingin
menjawab pertannyaan yang terkesan menyudutkanku. Karena sejujurnya tidak
pernah sekalipun ada murid SMA yang bilang dia jelek, bahkan untuk ukuran ketua
OSIS menjengkelkan, dia punya banyak sekali penggemar dari SMA lain.
“Tidak bisa jawab ya? Haha… sudah jelas matamu itu bilang kalau
kamu terpesona sama aku.”
Kan. Sudah ku bilang kalau dia menjengkelkan. Aku tidak suka lihat
dia besar kepala, tidak suka lihat dia berkuasa atas segala kosa kata dan
membiarkanku kalah dalam perdebatan ini. Aku tidak suka diejek oleh ketua OSIS
paling jelek se-Kabupaten.
“Enak aja. Siapa juga yang terpesona sama kamu. Aku justru enek
liat mukamu yang sok keren itu.” Ujarku tidak mau kalah
“Haha… sok keren? Ganteng mungkin maksudmu?” ujarnya sembari
memasukkan sisir kecil ke dalam saku celana.
“Aku beneran tanya, ini kalau gak dikancingin bagus gak?”
Sepertinya kali ini
pertannyaannya sungguhan. Maka kulihat tubuhnya dari atas sampai bawah,
menimbang-nimbang jawaban apa yang pantas kuberikan atas pertannyaannya.
“gak rapih kalau gak kamu kancingin. Ketua OSIS itu jadi contoh, eh…
ini malah kamu mau badung depan tamu undangan.”
“ya udah pinjem punyamu” dia berkata sembari menyambar almamater
milikku yang sudah ku cuci dan kugosok sehari sebelum menginap di sekolah.
“Wih… wangi baget almamatermu, tumben rajin…. Biasanya ada acara
nginep gak pernah mandi.” Dia mengatakan itu sembari memperlihatkan cengiran
jahil miliknya yang terlihat begitu menyebalkan di mataku.
“Enak aja.. emang kamu,
seragam olahraga digantung sembarangan di secret, bikin seisi ruangan bau
badanmu tahu gak!.”
Ucapanku justru membuatnya tertawa. Dan hal itu sukses membuatku
semakin dibuat jengkel oleh sikapnya yang selalu berubah mengikuti situasi.
Ketika menjadi teman di depan siapa saja dia berubah jadi sosok paling
menjengkelkan, tapi ketika jadi ketua OSIS dan ada pada situasi formal sikapnya
mendadak berwibawa dan peduli kepada semua orang.
“udahlah… jujur aja, bau badanku bikin nyaman kan tapi?. Sampe
kamu betah banget ngelamunin ketua umum sendiri di secret” ucapnya sembari
memasang wajah jahil
“dih… siapa juga yang ngelamunin kamu.”
Suara alat print yang sedang bekerja menambah ruangan ini semakin bising. Angkasa kembali menatap cermin yang tergantung di dinding secret tepat
di sebelah kananku sambil membetulkan letak kaca matanya yang baru saja dia
bersihkan.
“PUTRI ANGKASA NARENDRA.
Cocok ya?” suara seraknya semakin menghancurkan moodku yang sudah kacau. Apa-apaan dia
itu. Bisa-bisanya menyatukan namaku dengan namanya.
“punya parfum gak? Minta Put!.” Ujarnya tanpa dosa. Sudah pinjam
almamater punyaku dengan badan yang aku yakin belum mandi dari kemarin sore,
eh.. masih mau minta parfum milikku juga.
“Udah… gak usah pake parfum. Biar seisi ruangan tahu bapak ketua
umum belum mandi dari kemaren sore.” Ujarku sembari memunguti susunan acara
yang akan aku baca ketika pembukaan nanti.
“Bener?.... Nanti kalau mereka betah juga sama bau badanku kamu
gak akan cemburu?”
“Heh… udah sana ke atas.. atau mau aku pukul pake pantofel punya
Putra?” aku mengatakan itu sambil melangkah hendak memungut pantofel yang
tergeletak di rak sepatu di sebelah Angkasa berdiri.
“hahaha… emang tega mukul suami sendiri?”
“Heh… pergi gak”
“iyo… galak banget. Udah ayuk… 30 menit lagi acaranya dimulai” Dia
memasang wajah bijaksana kebanggaannya yang selalu muncul disaat sosok ketua
osis mendominasi
“kalau almamater punyaku dipakai kamu, terus aku pakai apa?”
Bukannya menjawab pertannyaanku, dia justru sibuk mengelus ponsel
hitam kesayangannya tanpa merasa bersalah padaku. Perasaan jengkel seketika
menguasai diriku yang pada akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan ketua osis
menyebalkan itu sendirian.
Aku melangkah seorang diri menyusuri koridor di depan ruangan kelas ditemani sebuah map serta name tag yang menggantung di leher. Bila kalian berpikiran kisah ini akan berakhir dengan aku yang dibuat jatuh cinta oleh semesta kepada Angkasa, jawaban kalian benar. Karena pada kenyataannya, yang dekat lebih menjanjikan ikat dan yang selalu ada lebih menjanjikan nyaman.
Laki-laki menyebalkan itu, membuat aku terbiasa membutuhkannya. Membuat aku perlahan-lahan lupa kepada pesan-pesan Wattsapp yang tidak pernah berdatangan lagi dua bulan kemudian. Dan aku tidak bisa selamanya menggantungkan harap kepada laki-laki yang tak pernah menginginkan keberadaanku.
Namun, Angkasa bukanlah yang terbaik yang semesta pilihkan untukku. Angkasa hanya menjadi tokoh utama dalam lembar lama meski sejujurnya aku dan dia tidak pernah ada ikatan apa-apa. Aku dan dia, hanya sebatas teman.
Setelah kami berpisah, aku disibukkan dengan pengharapan kepada cita-cita. Bagiku itu yang paling penting untuk saat itu. Bukankah semesta sudah mengatur jalannya? lantas untuk apa memusingkan jodoh.
Tapi memang dasar semesta ya, kalau hidup gak ada bumbu cintanya gak seru. Lakonnya pasif. Yang dikejar sebatas tahta dan harta. Ya... kata semesta hampa aja gitu kalau sebuah perjuangan gak diisi pake warna-warni cinta
Akhirnya, semesta mengirimkan seseorang yang tidak pernah ku bayangkan, ataupun ku harapkan kehadirannya pada saat itu. Tapi kalau sekarang, aku tidak rela bila semesta membawanya pergi atau mengakhiri tugasnya untuk menemaniku dan menjagaku.
Dia menyayangiku dengan segenap-genap perasaannya. Dan aku belum pernah disayangi begitu dalamnya sebelum ketemu dia. Maka aku bersyukur atas kehadirannya dalam kehidupanku. Tapi masalah berikutnya adalah, apa benar jalan cinta yang kami ambil akan membawa bahagia? karena yang sudah-sudah ya.... rumit. Karena yang sudah-sudah, yakni mereka yang menghambakan cintanya kepada status yang jelas akan berakhir dengan air mata. Entah berkhianat atau dikhianati, entah ditinggal pas sayang-sayangnya, entah dikecewain, disakitin, diduluin. Intinya aku gak mau semua itu terjadi juga padaku.
Kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang yang akhir darinya jelas kematian. Aku tidak ingin mengakhiri hidupku dengan kesedihan. Aku ingin kisahku dapat dikenang sebagai sesuatu yang tidak memalukan dan membawa manfaat untuk orang lain.
Cinta itu misteri, tapi bisa merasakan dicintai dengan begitu tulus adalah anugerah.
Dia pernah bilang padaku bahwa, jangan hanya berusaha untuk menikahi orang yang kau cintai tetapi berusahalah juga untuk mencintai orang yang kau nikahi.
Bukankah semua menjadi begitu jelas, bahwa yang saling cinta belum tentu berakhir bersama karena yang paling layak mendapatkan cinta tulusmu hanyalah ia yang benar-benar berjanji setia dan benar-benar bertanggungjawab atas ucapannya. Maka, sudah seharusnya melepaskan seseorang yang tidak pernah menghargai perasaanmu.
Yang layak dijadikan teman berjuang sampai ujung hanyalah ia yang memang benar-benar tulus menjadikanmu rumah ternyaman tempatnya pulang.
Salam Manis,
Rosantien.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Tamparan keras untuk yg sekedar datang, singgah, dan tanpa menetap
BalasHapuskeren bgt loraa😍😍
BalasHapusMasyaaAllah keren, mba terbawa hehe.
BalasHapusBerasa ngeliat gimana berwibawa dsn nyebelinnya si angkasa😅
Ketceee tulisannya. , Kaya berasa masuk ke cerita nya eh✌️✌️
BalasHapus